TUGAS BAHASA INDONESIA
MERANGKUM BUKU ILMU POPULER
Oleh :
Ardini Batrisya H
(10)
Nuansa Falsafia T
(23)
VIII – 7
SMPN 5 YOGYAKARTA
2012/2013
A.
Mengenal
Adab Bergaul dalam Al – Qur’an
Secara
etimologis, istilah ‘’adab” merupakan kata serapan dari bahasa Arab, al-adab
yang berarti sopan santun, budi pekerti, atau tata cara. Dalam kamus bahasa
indonesia, adab mempunyai arti kesopanan,
kehalusan , kebaikan, dan budi pekerti. Dengan demikian, adab adalah
semua sikap, perilaku, atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai kesopanan,
kehalusan, kebaikan, dan budi pekerti. Adapun orang yang beradab adalah orang
yang menjalani hidupnya dengan aturan atau tata cara.
Adab
dibagi menjadi menjadi dua macam, yaitu adab individu dan adab sosial. Yang
dimaksud adab individu adalah adab yang menyangkut diri sendiri, misalnya adab
makan, adab berpakaian, adab tidur, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud
dengan adab sosial adalah adab yang terkait dengan perilaku kita terhadap orang
lain, contohnya adab bersedekah, adab menjenguk orang sakit, adab bergaul, dan
sebagainya.
Adab
merupakan bagian dari akhlak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akhlak
diartikan sebagai kebiasaan, perangai atau watak. Akhlak memiliki arti lebih
luas dibanding dengan adab karena akhlak mencakup kebiasaan atau perangai,
entah yang baik ataupun buruk. Adapun adab lebih menunjuk pada perangai yang
baik.
Akhlak
dibagi menjadi dua macam yaitu akhlak mahmudah (baik) dan akhlak madzmumah
(tercela). Akhlak mahmudah adalah kebiasaan, perangai, atau watak yang baik.
Sebaliknya, akhlak madzmumah adalah kebiasaan, perangai, atau watak yang buruk
atau tercela.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, orang – orang pasti akan menghormati dan menyenangi
orang yang beradab dan memiliki akhlak yang mulia. Berbeda dengan orang yang
mempunya sifat tercela dan tidak beradab, maka masyarakat akan merasa tidak
senang dengan sikapnya dan akan dikucilkan.
Akhlak
terbentuk dari kebiasaan yang sudah lama dan mendarah daging, sehingga mewujud
menjadi tabiat atau watak. Berbeda dengan adab yang bisa dibuat seketika sesuai
dengan tata krama yang dibutuhkan. Maka kesimpulannya adalah semakin seseorang
beradab, maka semakin tinggi pula kualitas hidup yang dimilikinya. Masyarakat
akan memberikan perlakuan khusus kepadanya. Paling tidak, mereka akan lebih
menghormati dan menghargai orang beradab daripada yang tidak beradab.
Banyak
sekali ayat – ayat Al – Qur’an yang menjelaskan tentang adab bergaul, salah
satunya adalah Qs. Al – Hujarat ayat 10.
Artinya :
“Orang – orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antar
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapatkan rahmat.”
Dari
ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa semua orang yang beriman adalah saudara.
Dan dapat disimpulkan bahwa persamaan yang kita miliki akan melahirkan sebuah hubungan
persaudaraan. Contohnya adalah hubungan antara kakak dan adik, hubungan ini
merupakan hubungan saudara karena memiliki kesamaan ikatan darah.
Persaudaraan
juga dapat terjadi karena berbagai persamaan, seperti :
·
Persaudaraan karena persamaan sifat.
Contohnya adalah orang yang suka boros yang dianggap memiliki kesamaan sifat
seperti setan.
·
Persamaan suku dan bangsa. Contohnya
adalah persaudaraan yang terjalin karena tergabung dalam satu keyakinan suatu
suku seperti persaudaraan para Abdi Dalem di Keraton dengan Sri Sultan.
·
Persamaan sebagai makhluk Allah SWT.
Dalam sebuah hadis, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad menyebut jin sebagai saudara
manusia. Beliau juga melarang manusia untuk beristinja’ (bersuci dari buang air
kecil atau besar) dengan menggunakan tulang, karena tulang merupakan makanan
dari saudara kita yaitu bangsa jin.
Sesuai dengan prinsip ajaran Islam,
persaudaraan karena keimanan memiliki tingkatan lebih tinggi dibanding dengan
persaudaraan karena kesamaan suku bangsa, warna kulit, dan sebagainya.
Dalam adab bergaul, terdapat larangan
saling mengolok yang dapat menjadi pemicu munculnya pertikaian. Perbuatan
mengolok-olok dilarang karena dimungkinkan pihak yang mengolok-olok belum tentu
lebih baik daripada yang diolok-olok. Lebih dari itu, perbuatan tersebut
merupakan perbuatan tercela. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa apabila ada
orang mukmin yang mencela sesama mukmin, berarti ia mencela dirinya sendiri,
karena orang-orang mukmin pada hakikatnya seperti satu tubuh (al-jasad
al-wahid).
Pada salah satu penggalan ayat
Al-Qur’an memberi wejangan kepada orang-orang yang terlanjur melanggar larangan
di atas untuk segera bertobat. Bagi mereka yang tidak mau bertobat, maka orang
tersebut merupakan orang yang dzalim.
Barang siapa yang ingin bertobat atas
apa yang telah diperbuat, pasti akan diberikan taufik (pertolongan) untuk
selalu kembali kepada jalan-Nya. Tobat jenis ini adalah yang dilakukan oleh
orang-orang yang taat kepada Allah. Misalnya tobat Rasulullah SAW dan para
pengikutnya, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Mereka senantiasa
mengikuti Rasulullah SAW meskipun di saat-saat sulit. Allah pun menerima tobat
mereka dengan memberi pertolongan sehingga tetap taat mengikuti Rasulullah SAW
dalam kondisi apapun.
Menurut Ar-Ragib Asfahani, bertobat
mensyaratkan 4 hal, yaitu:
·
Meninggalkan dosa yang telah diperbuat
·
Menyesal karena telah melakukannya
·
Bertekad untuk tidak mengulangi kesalahannya
·
Menghindari segala hal yang dapat
mendekatkannya dengan keburukan
Dalam adab
bergaul Allah melarang adanya zann (prasangka) yang tidak berdasarkan
pengetahuan. Misalnya, menyangka bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah,
atau menyangka seseorang berbuat zina padahal tidak ada bukti yang
menunjukkannya. Biasanya, prasangka akan menarik seseorang untuk selalu mencari
tahu atau berusaha mengorek sesuatu yang tersembunyi. Perbuatan tersebut dilarang oleh Allah karena
akan membawa seseorang pada dosa yang lebih keji lagi, yaitu gibah.
Jika
seseorang yang selalu ingin tahu aib orang lain, maka orang tersebut akan
melakukan apapun agar dia dapat mengetahui aib orang lain. Jika orang tersebut tidak
beriman, maka orang yang mengetahui aib orang lain pasti akan menyebar luaskan
aib tersebut. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela dan dilarang
oleh Allah SWT karena telah mencemarkan nama baik seseorang. Perilaku tersebut
dikenal dengan istilah menggunjing. Perbuatan tersebut dipandang keji oleh
Islam. Menurut salah satu hadis, jika seseorang yang menggunjing orang lain,
sama saja orang tersebut memakan daging saudaranya yang sudah mati. Seseorang
yang menggunjing orang lain pasti akan mendapatkan balasan dari Allah. Dengan
demikian, agar seseorang terhindar dari ancaman Allah, maka ia harus bertakwa
kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bertakwa mempunyai arti menjalankan
perintah Allah.
Dalam
etika pergaulan, pasti membutuhkan proses untuk saling mengenal (ta’ruf)
satu sama lain. Cara untuk saling mengenal salah satunya adalah dengan
berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam sebuah interaksi, perbedaan merupakan
hal yang wajar. Bahkan perbedaan tersebut dapat melahirkan persaingan yang
tidak sehat. Masing – masing pihak akan saling mengunggulkan kelebihannya.
Maka, dalam suatu ayat Allah menegaskan tentang kriteria keunggulan yang patut
mereka unggulkan. Takwa merupakan kriteria keunggulan yang Allah gariskan
kepada mereka. Barangsiapa yang dapat meraih takwa, ia akan mendapatkan tempat
paling mulia di sisi Allah SWT. Dengan demikian, yang dimaksud orang paling
mulia (akram) adalah orang yang senang melakukan perbuatan terpuji
karena Allah semata. Orang yang mampu melakukan perbuatan mulia dengan sebaik –
baiknya disebut dengan at – taqiy (orang bertakwa).
B.
Konteks
Pergaulan pada Masa Rasulullah
Al
– Qur’an diturunkan untuk menjelaskan berbagai persoalan hidup manusia,
menggambarkan tentang hari kiamat, memberikan informasi peristiwa yang dialami
oleh nabi serta sahabatnya, dan lain sebagainya.
Surat
Al-Hujaarat diturunkan di kota Madinah. Ayat
dalam surat tersebut diturunkan pada saat Rosulullah SAW tinggal di Makkah
untuk berjuang keras mengenalkan Islam di tengah masyarakat paganis (
penyembah berhala). Ajaran beliau mendapatkan banyak pertentangan dan kecaman
dari masyarakat Makkah terutama kaum Quraisy sehingga mengundang pertentangan
pada masyarakatnya. Pada akhirnya, Nabi Muhammad memutuskan untuk hijrah ke
Yastrib (Madinah) bersama kaum Muhajirin (dari Makkah).
Di
Madinah, Rosulullah dan para pengikutnya mendapat sambutan baik dari kaum
Anshar (dari Madinah). Dan di kota inilah Nabi Muhammad memulai membentuk
masyarakat yang berasaskan Al-Qur’an. Hampir tidak ada kehidupan tanpa konflik.
Hal ini pernah dirasakan Nabi Muhammad SAW saat di Madinah yang membuat
Rosulullah untuk turun tangan mengatasinya.
Banyak
sekali konflik pada zaman Rosulullah SAW, sehingga banyak juga ayat yang
diturunkan untuk mengatasi konflik tersebut. Dalam suatu riwayat hadis
disebutkan bahwa pada suatu ketika Bilal mengumandangkan adzan di Ka’bah.
Mendengar suara adzan tersebut, Usaid Bin Al-Ish langsung berkomentar dengan
nada mengejek, “Alhamdulillah, ayahku wafat sebelum mendengar ini.” Kemudian
diturunkan sebuah ayat untuk mengatasi sikap mereka yang keliru.
C.
Etika
Bergaul dalam Islam
Banyak
sekali konflik yang terjadi di Indonesia yang berawal dari persaudaraan.
Contohnya kasus Perang Sambas di Kalimantan. Demi memperoleh harga diri
sukunya, mereka rela mengorbankan nyawa. Sudah dijelaskan bahwa persaudaraan
yang paling mulia adalah persaudaraan karena kesamaan iman. Oleh karena itu,
seorang mukmin tidak diperkenankan melukai atau membunuh saudara seiman hanya
demi membela harga diri sukunya.
Nabi
Muhammad SAW pernah melukiskan persaudaraan diantara orang-orang beriman
seperti satu bangunan, di mana sebagian dengan sebagian yang lain saling
menguatkan.
Adab
bergaul sangat mempengaruhi sifat seseorang. Contohnya adalah, keluarga yang
berantakan (broken home) menyebabkan kurangnya adab bergaul dengan
keluarga, sehingga orangtua kurang memberikan kasih sayang yang cukup kepada
anaknya yang mengakibatkan sang anak tidak lagi menaruh hormat kepada
orangtuanya. Karena sang anak merasa tidak nyaman dengan keluarganya. Sang anak
pasti akan memilih keluar dari rumah dan memilih tempat lain yang akan
berakibat fatal terhadap dirinya. Sang anak malah terbawa dalam arus pergaulan
bebas.
Penerapan
adab bergaul sangat menentukan terciptanya kedamaian dan ketenangan. Kepedulian
masyarakat yang rendah terhadap pergaulan akan membuka pintu permusuhan. Itulah
pentingnya adab bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Dalam adab
bergaul, sebenarnya kita diperbolehkan untuk berteman dengan siapa saja.
Meskipun demikian, alangkah lebih baik apabila kita bergaul dengan orang-orang
yang dapat mengantarkan kita menjadi lebih baik. Sebab perilaku kita sangat
bergantung pada perilaku teman dekat kita. Maka, untuk mengenal pribadi
seseorang, lihatlah dengan siapa dia bergaul.
Beberapa cara adab bergaul,
diantaranya :
1.
Larangan mengolok-olok.
2.
Larangan mencela.
3.
Larangan memanggil dengan panggilan
buruk.
Panggilan
buruk merupakan panggilan nama yang dapat merendahkan citra orang lain dan
membuat orang lain merasa tidak dihormati. Namun, jika orang tersebut tidak
merasa terganggu dipanggil dengan nama tersebut, maka itu tidak dilarang. Salah
satu contohnya adalah, sahabat Nabi yang bernama Abu Hurairah yang berarti
Bapak Kucing. Padahal ia memiliki nama asli Abdurrahman bin Shakhr.
Sikap
saling menghormati merupakan cara penting dalam bergaul. Salah satu bentuk
menghormati adalah dengan memanggil orang lain dengan panggilan yang baik.
Orang akan merasa dihormati bila dipanggil dengan panggilan yang baik.
Di antara
panggilan yang paling buruk menurut Al-Qur’an adalah panggilan kefasikan
(sifat-sifat buruk) setelah orang yang bersangkutan telah bertobat. Contohnya,
mantan pejudi.
4. Larangan berprasangka buruk.
Prasangka,
pada dasarnya merupakan pengetahuan naluriah manusia (idrak al – insan).
Hal ini hadir dalam diri manusia secara otomatis tanpa diupayakan. Biasanya,
prasangka muncul ketika seseorang melihat sebuah kenyataan diluar dirinya.
Misalnya, seorang siswa sadar bahwa telah kehilangan uang. Secara spontan
muncul dalam benaknya berbagai prasangka.
Orang
beriman dilarang menyatakan sesuatu yang masih bersifat dugaan karena, apabila
dugaan tersebut telah diucapkan orang lain, maka bisa dipastikan dugaan itu
akan menyebar.
5. Larangan mencari kesalahan orang lain.
6. Larangan menggunjing / gibah.
Adalah menyebut – nyebut aib orang
lain, sedangkan orang yang disebut tidak berada di tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar